Al-Qur'an as a Guide so listen it

Selasa, 21 Juli 2009

Masjid Agung Al-Falah Jambi


hm....TIDAK singgah dan salat di Masjid Agung Al Falah, rasanya belum lengkap bagi yang baru pertama kali berkunjung ke Jambi. Masjid megah nan indah dengan ornamen menawan plus jejeran tiang-tiang tinggi memang menjadi daya tarik tersendiri untuk disinggahi.

Berada di Jalan Sultan Thaha, Kota Jambi, Masjid Agung Al Falah begitu mencolok. Luas lahannya mencapai 2,7 hektar. Sebanyak 232 tiang yang menopang kubah dan atap menambah kesan kokoh masjid itu.

Masuk ke dalam masjid, keagungan masjid begitu terasa. Mihrab dihiasi ukiran dan kaligrafi yang indah, terbuat dari kuningan dan tembaga dengan kubah megah seperti Taj Mahal di India. Delapan tiang penyangga dihiasi ukiran dan patri kuningan yang cantik nan menawan.

Di sisi kanan masjid ada kaligrafi bertuliskan asma Allah. Di kiri, kaligrafi Nabi Muhammad SAW. Sedangkan di kanan dan kiri mihrab terdapat dinding berhiaskan ukiran yang di tengahnya dibuat nama-nama khulafaurrasyidin (empat klaifah), yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Di kanan dan kiri mihrab juga terdapat dua jam berukuran besar.

Sementara di tengah masjid terdapat kubah indah berukuran besar dengan warna beragam, putih, hijau muda, hijau tua, pink, dan biru, dengan kaligrafi terbuat dari kaca bertuliskan nama-nama Allah.

Masjid semakin terlihat menarik dan megah ketika lampu hias berukuran besar mengantung menghiasi kubah masjid terbesar di Jambi itu. “Tahun 2003 atap ada bocor, makanya kita rombak sehingga seperti sekarang,” ujar Normal Yahya, staf Biro Kesra dan Kemasyarakatan Setda Provinsi Jambi.

Dikatakan, penampilan Masjid semakin kokoh dan gagah setelah 40 tiang dilapisi tembaga kuningan yang didatangkan dari Jepara, Jawa Tengah. “Baru 2004-2005 dirombak menggunakan tembaga seperti itu,” ujarnya di Masjid Agung, beberapa hari lalu.

Di masjid itu juga terdapat beduk berukuran besar. Sementara di kanan dan kiri bagian luar terdapat kolam ikan dengan pagar di sekelilingnya. Ide pembuatan ornamen saat direhab, kata Normal Yahya yang juga pimpinan proyek rehab Masjid Agung, berasal dari Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin setelah melihat-lihat masjid di daerah lain. “Kami diperintahkan membuat konsep dan desainnya dengan mengajak konsultan dan arsitek. Setelah itu baru kita usulkan lagi ke Gubernur,” ujar pria yang tinggal di Puri Mayang itu.

Mengapa tiang tidak dibuat dari kuningan semua? Secara estetis, kata Normal Yahya, tidak bagus. Hingga kini Masjid Agung menjadi simbol kemasyhuran masyarakat Jambi. Masjid unik dengan 232 tiang tanpa dinding, kecuali bagian barat dan mihrab, dihiasi ornamen kaligrafi ayat-ayat Alquran, nama Allah, nama Nabi Muhammad SAW, khulafaurrasyidin, dan dilengkapi beduk di bagian depan masjid.

“Nama masjid seribu tiang itu hanya gelar yang diberikan masyarakat Jambi saja karena begitu banyak tiang yang menyangga masjid itu,” ujar M Zubir, salah satu imam masjid. Saat ini sudah divariasi dengan 40 tiang terbuat dari tembaga, ditambah lampu hias dari tembaga juga.



Bermula dari Sayembara

Masjid Agung Al Falah merupakan masjid terbesar di Jambi. Hingga kini masjid seribu tiang itu menjadi kebanggaan masyarakat di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Namun tak banyak yang mengetahui sejarah berdirinya masjid tersebut.

Ketua MUI Provinsi Jambi Sulaiman Abdullah menjelaskan, ide pembangunan Masjid Agung dimulai tahun 1960-an oleh pemerintah dan pemikiran beberapa tokoh masyarakat. Tujuannya meningkatkan syiar Islam, di samping makin meningkatnya jumlah penduduk. “Dulu itu bekas benteng Belando (Belanda), dikuasai oleh militer Korem 042/Gapu,” ujarnya beberapa hari lalu.

Selanjutnya gubernur melalui sekretaris daerah menghubungi panglima Kodam II Sriwijaya di Palembang untuk meminta kembali tanah tersebut untuk lokasi pembangunan masjid. Usulan itu membuahkan hasil dengan disepakati dan dikembalikan tanah tersebut kepada Pemprov Jambi yang dulu milik pemerintah Kerajaan Melayu Jambi. Namun, baru pada 1971, pembangunan dimulai, diprakarsai Abdurrahman Sayoeti, sekretaris daerah Provinsi Jambi ketika itu, dan didukung sejumlah tokoh ulama, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat Jambi lainnya.

Bentuk bangunan masjid, kata Sulaiman Abdullah, semua disayembarakan. Akhirnya, terpilihlah konsep bangunan dengan banyak tiang dan tanpa dinding. “Tidak berdinding agar dingin terkena angin dan tidak perlu kipas angin atau AC,” ujar Sulaiman Abdullah. Siapa pemenang sayembara itu? Sulaiman Abdullah tidak ingat. Hal sama dikatakan tiga imam masjid, yakni M Zubir, Hasan Basri, dan Sayuti Ibrahim.

Nama Masjid Agung Al Falah merupakan kesepakatan para ulama dan tokoh masyarakat ketika itu. “Agung” dipakai karena bangunannya yang megah. Sedangkan “Al Falah” berarti kemenangan, yang memberikan pengertian bahwa kehidupan manusia di dunia ini harus memeroleh kemenangan. Dari sisi sejarah, nama “Al Falah” dipakai mengingat lokasi pembangunan masjid adalah Tanah Pilih Pseko Betuah, yaitu tanah milik Kerjaan Melayu Jambi yang pada 1885 dikuasai Pemerintah Belanda namun dapat dikuasai kembali oleh Kerajaan Melayu Jambi. Artinya, Jambi memeroleh kemenangan.

14 Tahapan Pembangunan

pembangunan Masjid Agung Al Falah melewati 14 tahapan. Diawali pada 16 Januari 1971 hingga 17 september 1979. Semua dana bersumber dari APBD. “Supaya masyarakat Jambi memiliki masjid yang megah dan jadi kebanggaan,” ujar Hasip Kalimuddin Syam, salah seorang tokoh yang ikut memprakarsai pembangunan Masjid Agung Al Falah.

Selain 14 tahapan tersebut, secara terpisah dibangun pula gedung Islamic Centre pada tahun anggaran 1974/1975 dengan biaya Rp 55 juta terdiri dari bantuan presiden Rp 50 juta ditambah anggaran Pemprov Jambi. Menara setinggi 38,50 miliar dibangun pada tahun anggaran 1976/1977 dengan menelan dana Rp 25 juta, sumbangan PT Waskita Karya.

Tahap penyempurnaan dilakukan pada 1980/1981 dengan biaya Rp 10 juga. Pengerjaan yang dilakukan adalah pembuatan satu unit rumah jaga dan tempat wudhu dan WC wanita.

Pada 29 September 1980, Presiden Soeharto meresmikan pemakaian Masjid Agung Al Falah yang menelan biaya keseluruhan mencapai Rp 743.139.991,02. Peresmian dilakukan pada masa Gubernur Jambi Maschun Syofwan. Masjid berdiri di atas tanah seluas sekitar 26.890 meter persegi atau 2,7 hektare, luas bangunan masjid 80x80 meter atau 6.400 meter persegi dengan kapasitas daya tampung sekitar 10 ribu jamaah.

admitted from independent

Times is Amal